Senin, 13 April 2009
tenun corak merah
Ini merupakan salah satu motif tenun khas flores yang jenisnya beraneka warna. dalam pembuatan kain tenun ini membutuhkan waktu satu bulan kalau dikerjakan secara terus menerus dengan menghabiskabn biaya Rp. 250. ooo
tenun flores
PULAU FLORES merupakan bagian dari kelompok pulau-pulau Nusa Tenggara Timur, dan mendapat banyak pengaruh dari pulau-pulau sekitarnya. Pengaruh-pengaruh tersebut memperkaya budaya suku-suku di Flores yang jumlahnya mencapai hampir tiga puluh suku. Setiap suku 'mempunyai bahasa dan dialeknya sendiri. Di bagian barat pulau Flores tinggal orang Manggarai, di bagian tengah tinggal orang Ngada, Riung, dan Nage Keo, sedangkan di bagian timur berdiam orang Ende, Lio, Sikka, dan Larantuka. Sebagian besar masyarakat
Beragamnya fungsi dan banyaknya permintaan kain tenun ikat, membawa banyak perubahan dalam proses pembuatannya. Selain digunakannya pewarna sintetis, kini benang rayon juga digunakan sebagai bahan
Tenun ikat
Pembuatan desain kain tenun ikat di
Beberapa daerah yang menghasilkan kain-kain tenun adalah Manggarai, Ngada, Nage Keo, Ende, hingga sekitar Lio, Sikka, dan Lembata di bagian timur Flores.
Di daerah-daerah tersebut, seperti di wilayah Nusa Tenggara Timur lainnya, benang yang diikat adalah benang lungsi.
Manggarai dan Ngada
Di daerah Manggarai ada teknik lain pembuatan ikat, yaitu menggunakan lidi-lidi pengungkit dalam proses penenunan untuk menghasilkan pakan tenun songket tambahan. Di daerah Ngada, Flores Tengah, juga terdapat kain tenun songket warna kuning emas sebagai pengganti songket benang emas. Kain-kain tenun songket Flores di atas latar tenunan benang kapas ini mempunyai banyak persamaan dengan kain-kain songket dari
Selain kain songket, masyarakat Ngada juga membuat kain tenun ikat. Tenun ikat yang mereka buat menggunakan warna-warna gelap, antara lain dengan kombinasi warna biru dan cokelat, dengan garis-garis sederhana. Sedangkan suku Nage Keo menghasilkan tenunan yang menampilkan motif bintik-bintik kecil dari teknik ikat pembentuk motif floral. Jalur ikat ini dikombinasikan dengan jalur-jalur kecil lain berwarna putih, merah, dan biru polos.
Seperti halnya kain sarung, pada kain songket juga ada pembagian desain kain antara lain adalah yang disebut bagian kepala yang diletakkan di bagian tengah dan yang disebut badan yang diletakkan di belakang kain lainnya. Pembagian desain songket dari Manggarai dan Ngada ini juga membentuk bagian badan dan kepala, dengan motif yang berbeda di kedua bagian tersebut. Saat dikenakan, bagian kepala biasanya diletakkan di bagian depan dan bagian badan diletakkan di belakang. Di Flores, kain tenun biasanya dikenakan hingga setinggi dada. Dalam perkembangannya, mereka menggunakan kebaya yang pemakaiannya dimasukkan dalam sarung. Cara memakai kain sarung seperti ini hampir sama dengan cara wanita Bugis dan Makasar di Sulawesi Selatan, atau Kaili dan Donggala di Sulawesi Tengah.
Sikka
Pada mulanya kain adat
Cara pemakaian kain di
Kaum pria suku Sikka memakai kemeja yang juga disebut kebaya labu dan celana panjang. Di luar celana mereka mengenakan sarung yang disebut lipa atau utan yaitu jenis kain sarung orang Sikka yang berwarna biru tua atau biru hitam dihiasi dengan jalur-jalur biru muda atau biru toska. Mereka pun mengenakan selendang lebar yang disampirkan di bahu sampai dada yang disebut lensu sembar. Sebagai penutup kepala para laki-laki biasanya menggunakan destar. Destar mereka kadang-kadang justru terbuat dari bahan batik Jawa. Selain itu ada hal lain yang khas dalam pakaian adat Sikka, kain tenun warna hitam atau gelap hanya dipakai oleh mereka yang telah berumur, sedangkan kaum muda memakai kain tenun dengan warna terang dan menyolok.